Text
Hari Anjing-Anjing Menghilang
CERPEN-CERPEN yang kau kirimkan kepadaku ini, yang berisi enam belas kisah karya teman-teman Kampus Fiksi mendenyarkan apa yang disebut oleh Gordimer sebagai sastra kesaksian itu. Semua cerpen dalam kumpulan ini dibuhul oleh satu tema yang sama yakni peristiwa Mei 1998 yang penuh luka itu, saat terjadi penjarahan dan pemerkosaan massal terhadap para perempuan etnis Tionghoa. Dengan itu, bisa dibayangkan bahwa para cerpenis muda ini menulis cerita seraya berpijak di dua kaki sekaligus yakni fakta dan fiksi, berayun-ayun antara pendulum nalar dan imajinasi, data dan fantasi, berkisar-kisar antara pasir kenyataan dan penerbangan khayal. Si Juru Kisah di sini dituntut bukan hanya bergelayutan nun di langit imajinasinya tapi harus pula terpacak dengan kokoh di bumi manusia.
—Tia Setiadi, sastrawan
Nyo diam. Papa berjalan keluar. Nyo mengikuti Papa dari belakang. Namun Nyo segera berhenti dan bersembunyi, mengintip dari balik salah satu kursi ruang tamu saat tiba-tiba seseorang menonjok wajah Papa. Lalu dengan cepat orang-orang itu mengeroyok Papa. Memukuli Papa. Menendangi Papa.
— Hari Anjing-Anjing Menghilang, Umar Affiq
“Seharusnya Bapak tidak usah menyuruh Kinan ikut acara Ngarot, Pak.”
“Aku awalnya tidak terlalu percaya, Bu. Awalnya kukira mitos belaka. Dan mau ditaruh di mana martabatku sebagai kuwu desa jika anak gadisku tidak ikut acara ini?”
“Cukup, Pak! Yang Bapak pikirkan memang melulu martabat kuwu desa! Apa Bapak pernah sekali saja memikirkan betapa menderitanya Kinan setelah yang ia alami?”
—Bunga Ngarot yang Menjadi Layu, Frida Kurniawati
P80022103S | 813 AFF h | SIRKULASI FIB (800) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain