Text
Tiada Persinggahan Bagi Mataku Selain Dirimu
Melihat dari latar sosio-kultural seperti inilah kehadiran antologi ini sangat penting untuk dibaca dan saya rasa begitu tepat dengan momentumnya. Hampir dapat dipastikan pula, bahwa semua baris sajak atau puisi, yang termuat di dalam buku ini, bernada kecemasan, harapan-harapan dunia remaja, melalui deskripsi dan eksposisi, kata-katanya yang cenderung melankolis. Sehingga dengan sadar dia memotret dirinya sendiri, yang sama sekali tak berdaya di depan kenyataan dan kelembutan Tuhan di dalam hari-harinya, yang selalu memberi harapan baru. Untuk menguatkan kesan itu, mari kita petik beberapa larik sajak:
Rien. . .
Dan sebuah pagi terdampar
Barangkali kesunyian terlambat tiba
Atau kepak camar adalah pertanda
Gelepar ombak yang lantas tewas
(Tiada Persinggahan bagi Mataku Selain Dirimu)
Penyair memungut kata; pagi terdampar, kesunyian, kepak camar, gelepar ombak untuk menggambarkan absurditas perasaan cintanya dan disini, terkesan sedang memendam rasa rindu yang berat, dengan mata sembab, basah seolah baru keluar dari kamar gelap kesunyian. Tetapi entah nama Rien, yang dimaksud itu tahu, atau menanggapi perasan cinta sang Penyair, atau abai. Karena kata gelepar ombak yang tewas, memberi maksud bahwa gejolak rindu itu datangnya hanya satu arah saja.
Sekali lagi, kegelisahan, pencarian dan kebingungan itulah yang menjadi ciri dari puisi-puisi sebagian besar dalam kumpulan antologi ini. Atau katakan saja kesepian, layaknya langkah seorang Qais yang merindukan setengah mati Lailah, yang takut kehilangan atau ditinggalkan, maka tiap malam ia sering datang ke rumah .
Sudah Kukawinkan, bulan ke bulan Anne
Sudah kukawinkan hari bahkan sudah kukawinkan
Menit dan detik jarum jam!
Kemarin, tidak sama sekali Anne, karena
Kesadaran bahwa kau makin seperti bintang
Yang hanya indah dipandang dari jauh! Tapi
Tidak mampu kuraih, meski seribu bambu
kuikat sebagai galah
(Sudah Kukawinkan)
Perhatikan kata-kata, kau makin seperti bintang bukankah di dalam kata ini penyair sudah lebih dari seorang Qois yang menjadikan bintang, kata benda yang bersinar itu nan jauh, tak bisa direngkuh, karena jarak dan dirinya yang terlampau kecil atau tak berdaya, seperti pungguk yang merindukan bulan dalam bentangan khayalan-khayalan, kemudian membingkainya dengan sebentuk tindakan absurd, yaitu harapan-harapan yang menghibur. Demkianlah di dalam puisi, deskripsi keputusasaan adalah justru harapan sebagai titik tolak untuk membuka kemungkinan resepsi dan interpretasi. Maka membaca buku antologi ini sungguh sangat menghibur, karena disana ada pertautan antara patah-hati dan harapan baru, seperti bertautnya arus sungai yang kecil dengan samudra yang luas.
P80019118S | 811 BAW t | SIRKULASI FIB (800) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain