Text
Budaya Populer Indonesia
Runtuhnya Orde Baru pasca huru-hara politik 1998 adalah penanda bagi arus besar produksi dan konsumsi budaya populer di Indonesia. Mencairnya kebekuan politik, perubahan formasi sosial, dan perkembangan teknologi komunikasi menjadi penggerak arus besar tersebut.
Sayangnya kajian-kajian yang menjelaskan perubahan situasi ini sungguh minim. Stereotype lama yang mengendap di benak para cendekiawan di negeri ini bisa diapungkan sebagai alasan awal. Budaya populer direndahkan sedemikian rupa karena perselingkuhannya dengan dunia kapital. Perselingkuhan ini menjadikan budaya populer sebagai komoditas massal yang hanya menyajikan kedangkalan. Dan dengan demikian, budaya populer diremehkan sekaligus tidak layak untuk diteliti.
Inilah yang menjelaskan kenapa hampir setiap rezim politik di Indonesia sebelum 1998 beberapa kali melarang perkembangan budaya populer. Kita sama-sama tahu, Soekarno sangat anti dengan musik barat yang ia sebut sebagai musik ngak-ngik-ngok. Sementara itu di era Orde Baru, pemerintah sempat melarang peredaran lagu-lagu bertema patah hati yang dianggap sebagai musik cengeng.
Nah, pasca 1998 situasi tersebut berubah secara dramatis. Kita menyaksikan presiden dan menteri kabinet yang sampai membuat album khusus untuk musik karyanya sendiri. Musik, film, sampai televisi membantu penyebaran produk budaya populer dengan cepat dan masif. Di titik inilah peran buku Budaya Populer di Indonesia menjadi penting.
Separuh dari sembilan tulisan yang terdapat di dalamnya merupakan makalah yang dipresentasikan dalam diskusi panel “New Media, Pop Culture, Inter (Asia)” yang diadakan tahun 2005 di Thailand. Tulisan-tulisan ini menjadi potret cuaca kebudayaan populer di Indonesia pasca runtuhnya otoritarianisme. Cuaca kebudayaan yang merupakan kelindan antara tegangan ideologi, politik, sampai ekonomi.
Kita bisa melihat kelindan ini misalnya dalam tulisan Ariel Heryanto di Bab I yang berjudul Budaya Pop dan Persaingan Identitas. Associate Professor di Australian National University ini mengambil contoh kontroversi penyanyi dangdut Inul Daratista di pertengahan dekade 2000-an yang ia sebut menunjukkan persaingan ideologis yang “berlangsung lebih terbuka, sengit, dan sarat muatan” (halaman 21). Persaingan ideologis ini mengupas setidaknya lima lapisan golongan yang saling berbenturan.
Pertama, kebanggaan daerah vs kuasa ibukota. Kedua, sinkretisme jawa vs kesalehan baru Islam. Ketiga, patriarki vs gerakan perempuan. Keempat, selera budaya rendah vs tinggi. Dan kelima, kesenjangan vs pemberdayaan teknologi. Menurut Ariel, benturan yang demikian keras ini sebenarnya berakar dari konflik berabad silam. Terutama sejak masuknya Islam ke Jawa. Hanya saja, konflik ini selalu diredam dan ditabukan oleh penguasa sejak era kolonial sampai kekuasaan Orde Baru.
Imperialisme Budaya
Selain persoalan kelindan identitas seperti disebut di atas, tema lain yang menarik dalam buku ini berkaitan dengan imperialisme budaya melalui televisi. Tesisnya, televisi merupakan agen imperialisme yang mencangkokkan pemikiran dan budaya barat melalui tayangan-tayangannya.
Kita bisa mengajukan kritik tentang keyakinan penganut imperialisme budaya yang menganggap audiens sebagai pihak yang pasif. Namun faktanya, ilusi yang dimunculkan berhasil membentuk citra tentang adanya interaktifitas antara tayangan dalam televisi dengan audiens.
Contoh yang menarik untuk melihat hal tersebut bisa kita lihat dalam tulisan Penelope Coutas yang mengupas tayangan televisi Indonesian Idol. Menurut Coutas, acara ini sangat bias barat. Bias secara gamblang terlihat dalam pemilihan lagu-lagu yang dinyanyikan oleh sang Idol. Mayoritas lagu yang dinyanyikan terikat pada tradisi “pop” atau “rock” yang berasal dari barat.
Lagu-lagu yang “khas” Indonesia seperti dangdut dan musik tradisional lain diabaikan. Pengabaian yang membuat identitas keindonesiaan dalam Indonesia Idol tidak lebih dari sekadar simbol (halaman 177). Ironisnya, penonton diajak untuk memilih Idol kesukaan mereka dengan berpartisipasi melalui dukungan SMS.
Kondisi yang serupa juga terlihat dalam tulisan Vissia Ita Yulianto. Ia menulis tentang tayangan infotainment di televisi yang meredomestifikasi peran perempuan. Acara ini mengukuhkan berbagai perangkat sistem norma dan nilai domestik konservatif yang tumbuh di tengah masyarakat di Indonesia. Lebih jauh bahkan melegitimasi ketidaksetaraan gender yang diterima sebagai sesuatu yang sifatnya taken for granted.
Vissia menambahkan bahwa proses redomestifikasi juga muncul sebagai konsekuensi dari krisis ekonomi yang melanda dunia. Angka pengangguran di Indonesia terutama kaum perempuan semakin meningkat. Beban hidup meningkat, frustasi sosial terjadi. Dan infotainment menjadi semacam pintu keluar bagi perempuan untuk menghibur diri.
Pintu Masuk
Tema-tema spesifik dalam buku ini yang merentang dari persoalan identitas, ideologi sampai konsumsi budaya populer bisa dikatakan baru merupakan serpihan pemikiran. Seperti pintu masuk yang membuka ruangan luas tentang kajian budaya populer yang selama ini tertutup rapat. Karena itu selayaknya didalami lebih lanjut.
Catatannya, seperti diingatkan Ariel, kajian-kajian selanjutnya perlu melangkah lebih jauh dari pembacaan atas teks budaya populer tertentu. Apalagi sekadar hitungan kuantitatif tentang mekanisme produksi dan konsumsinya. Dengan demikian ia bisa menutup rongga besar dalam kajian mengenai situasi kebudayaan kontemporer di tanah air. Semoga.
P3001516S | 306.4 | SIRKULASI FIB | Tersedia |
P3001516S2 | 306.4 | SIRKULASI FIB | Tersedia |
P3001516S3 | 306.4 HER b C3 | SIRKULASI FIB (300) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain