Text
Soe Hok Gie
Dari sisa ingatan dan catatan minim, mantan enam rekan (Freddy Lasut sudah almarhum) perjalanan Soe Hok-gie (27 tahun) dan Idhan Dhanvantari Lubis (20), berusaha menulis ulang kesaksian sebenarnya tragedi perjalanan pendakian ke Gunung Semeru, nun 40 tahun lalu.
Aristides Katoppo (71): “Hok-gie terlalu cepat pergi, tapi kalau dia hidup dan sekarang sudah umur 67 tahun, apa dia tahan tidak bikin ribut-ribut?” Komentar Tides yang 40 tahun lalu, meminta bantuan helikopter TNI-AL untuk turun di alun-alun kota Malang, lalu ikut heli itu mengapung dan terkurung kabut tebal di kaki Semeru.
Maman Abdurachman (65): “Saya mungkin shock dan dehidrasi, hingga menganggu kondisi dan stres. Tapi saya tidak kesurupan, saya sadar kok, cuma merasa badan panas sekali,” ujar Maman yang tidak trauma dan tidak melarang putrinya menjadi pendaki gunung Mapala UI juga.
Herman Onesimus Lantang (69): “Saya yang memimpin evakuasi jenasah Hok-Gie dan Idhan, tentu dengan dukungan tim besar dari Malang dan Jakarta, bukan sendirian,” ujar Herman yang ketimpa sial juga. “Masih lelah dan baru masuk ke kota Malang, gua diinterogasi polisi, diperiksa dan diminta kesaksian tentang Hok-Gie dan Idhan itu bukan korban pembunuhan di Semeru.”
Anton Wijana alias Wiwiek (63): “Aku satu-satunya anggota tim yang fasih berbahasa Jawa, makanya aku diajak turun duluan bareng Tides, untuk minta bantuan ke Malang dan Jakarta. Yang terjadi kemudian, ya kerja sama kemanusiaan sejati,” kata Wiwiek yang mengenang solidaritas zaman dirinya aktif di pergerakan anak-anak jaket kuning UI.
Rudy Badil (64): “Saya datang, saya lihat, saya rasakan, saya pulang, saya bertanggung jawab dan saya menulis kembali kesaksian peristiwa 40 tahun lalu itu,” ujarnya, seraya menjelaskan sulitnya merekonstruksi ingatan masa 40 tahun lalu. “Salah-salah dikit, harap maklum.”
---oOo---
Soe Hok-Gie … sekali lagi, diharapkan menjadi buku baru sekali lagi tentang Soe Hok-gie, berisikan kisah saksi hidup pendakian di zaman awal Orde Baru. Juga saksi-saksi teman dan konco dekat Hok-gie dalam soal “buku pesta dan cinta di kampus UI Rawamangun-Salemba”, tentu juga perihal alam bangsanya yang baru menapak di zaman pembangunan – sebelum menapak ke zaman reformasi.
Buku baru tentang Soe Hok-gie ini, khususnya akan memuat komentar dan telaah penulis dan pengamat “cuaca” sosial budaya politik budaya Indonesia. Rupanya ada kemiripan yang tidak sama tapi nyaris serupa, antara situasi sekarang dan 40-an tahun lalu.
Ini buku tentang perilaku dan pemikiran terhadap keadaan bangsa dan negara. Sebab dari kumpulan tulisan pilihan Hok-gie, rasanya masih cocok sebagai “bumbu bandingan”, perihal politik pemerintahan, di zamannya Hok-gie sebagai penulis muda di usia di tahun 1963-1969, sampai di zaman reformasi 2009n ini.
Rekan seprofesi, mantan anak-anak gerakan Orde Baru pun, masih sempat menulis tentang Hok-gie. Bukan pengamat senior saja, malah beberapa pengamat dan pemerhati yang tidak sempat berkenalan dengan Soe, ikutan menyumbangkan buah pikirannya dalam buku kecil 400-an halaman yang akan terbit khusus, di hari peringatan meninggalnya Soe dan Idhan, 16 Desember 2009 nanti.
Hok-gie bukan hanya tajam menulis kritik terbuka, dia juga mampu menulis puisi alam sehalus kabut Mandalawangi. Juga pilihan puisi dan lirik-lirik lagu, menunjukkan selera kepedulian Hok-gie terhadap seni budaya manusia universal tanpa batasan.
Kesetaraan, kepedulian dan kemajemukan merupakan garis besar dan haluan utama segala tulisan di media massa dengan nama: Soe Hok-gie.
P9002208S | 920 BAD s | SIRKULASI FIB (900) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain